Guruku Sayang Guruku Malang


Renungan Di hari Guru tahun 2011
Sejak tahun 1994 setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional dan Hari Ulang tahun PGRI secara bersama-sama. Lantas apa yang hendak direnungi untuk satu profesi yang dulunya sering dipandang sebelah mata itu?
Langkah-langkah perbaikan nasib guru sebenarnya telah berlangsung sejak dunia pendidikan mendapatkan ‘penghargaan’ dengan alokasi 20% dari APBN. Guru profesional pun telah dicanangkan lewat proses sertifikasi guru. Bahkan untuk perbaikan pelaksanaan sertifikasi guru untuk tahun 2012 pemerintah akan mengimplementasikan dalam empat hal yaitu :
  1. penetapan peserta melalui sistem online,
  2. uji kompetensi,
  3. perankingan dimulai dari usia, masa kerja, golongan, dan
  4. penjadwalan.
Di sisi lain, masyarakat telah memasang patokan tinggi terhadap profesionalisme guru. Guru dituntut untuk terus mengembangkan diri, mengasah wawasan dan terus mencari metode pengajaran terbaik guna membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan sehingga masa depan muridnya cemerlang. Standarisasi tersebut terkadang memberatkan sekaligus cambuk yang selalu membuat guru harus mengerti keinginan masyarakat.
Tidak jarang, ketika tawuran antarpelajar marak, prilaku seks bebas yang kian mengkuatirkan, masyarakat langsung menuduh penyebabnya karena ketidakprofesional guru sebagai tenaga pendidik. Tapi problemnya bagaimana guru dapat memenuhi standar profesionalisme seperti yang diharapkan masyarakat sementara nasib guru sendiri tak menentu? Bukan rahasia umum lagi yaitu gaji guru yang rendah.
 
Meningkatkan standarisasi guru tentu saja tidak dengan memberinya sebuah pengharapan hidup yang lebih terjamin. Kasus guru jual buku, guru yang ‘nyambi’ jadi penarik becak, sopir angkot, misalnya, tentu saja itu terkait dengan ketidaksanggupan mereka mengemban beban besar dengan pendapat yang kecil. Namun profesionalisme guru juga harus dilihat dari filosofi kemanusiaan yang mereka emban.
Sebagai pemberi ilmu, guru tentu saja memiliki karakteristik yang khas dari profesi lain di tanah air. Karena karakter yang khas tersebut makanya guru dianggap sebagai manusia setengah dewa. Guru adalah profesi yang telah eksis sejak sejarah peradaban manusia ada. Guru diyakini sebagai salah satu penjamin keberlangsungan peradaban itu sendiri. Guru adalah fasilitator ilmu dan ketauladanan. Guru itu tidak sekedar digugu dan ditiru.
Sebagai tenaga pendidik tentunya guru dituntut untuk memahami betul filosofi pengajaran. Filosofi pengajaran merupakan salah satu komponen yang sangat penting di dalam portofolio seorang guru. Guru yang memiliki filosofi pengajaran, jelas memiliki rambu-rambu yang jelas di dalam menjalankan tugasnya. Filosofi pengajaran dapat dianalogikan sebagai “Dasar Negara”, karena di dalam filosofi tersebut tercantum segala aspek yang ideal dari seorang guru dan usaha-usaha yang direncanakan guru tersebut untuk mencapainya dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Di tengah tuntutan profesionalisme, kita masih membutuhkan penambahan tenaga-tenaga guru dalam usaha memajukan peradaban bangsa ke depan. Kekurangan tenaga guru setiap tahun selalu muncul sebagai problem lain dari dunia pendidikan kita. Rasio tenaga guru dengan jumlah murid masih sangat jauh memadai. UNESCO bahkan pernah melansir berita saat ini dunia membutuhkan 8,2 juta guru agar universal primary education yaitu kondisi seorang guru mengajar 40 orang siswa dalam satu kelas, dapat tercapai.
 
Di Indonesia sebagaimana data yang dilansir Kementerian Pendidikan Nasional membutuhkan sedikitnya 70 ribu guru yang profesional setiap tahun yang harus dipenuhi terutama sejak 2011 hingga 2014. Saat ini tercatat total guru di Indonesia sebanyak 2,7 juta. Dari jumlah tersebut, 1,5 juta atau 57,4% diantaranya belum berkualifikasi sarjana atau diploma empat (S1/D4).
Kondisi ini kemudian dipersulit oleh proses pembelajaran cerdas dan kreatif yang masih belum dimiliki oleh para guru. Sejak sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) digunakan hingga kurikulum 2004 dan kurikulum 2006, baru sebagian kecil guru menerapkan proses belajar siswa yang cerdas dan kreatif. Bahkan silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, juga menjadi faktor kegagalan pendidikan di Indonesia. Tentu saja belum berjalannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Ini juga diikuti oleh sistem ujian nasional yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar.
Usaha untuk melahirkan tenaga guru yang profesional tidaklah menafikan perlunya perubahan yang signifikan terhadap konsep mengajar yang selama ini dipahami. Seperti diketahui bahwa problem pengajaran di tanah air terus saja berkutat dalam terminologi satu arah meskipun sistem komunikasi dua arah telah dirintis sejak lama. Masalahnya bukan melulu karena proses belajar-mengajar berlangsung searah tersebut melainkan tidak maksimalnya peran guru memberi inspirasi kemanusiaan kepada murid.
 
Kita tidak sedang mengungkit berbagai praktik kekerasan guru terhadap siswa jika kemudian terpaksa mengatakan bahwa praktik anti kemanusiaan telah dicerna peserta didik sejak bangku sekolah. Tentu saja prilaku seperti ini sangat bertentangan dengan Konvensi Hak Anak sebagai ditulis pada pasal 28 (2) bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia si anak. Lebih lanjut pasal 37 (a) menyatakan tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Kasus kekerasan guru terhadap siswa kemudian menjadi batu sandungan yang membuat kepercayaan masyarakat kepada tenaga pendidik menjadi berkurang. Mungkin karena salah satu faktor itu juga kemudian sebagian orang tua siswa memiliki pendidikan di rumah.
Begitu rumitnya ternyata beban dan tuntutan yang diberikan ke pundak guru di Indonesia sehingga momen hari guru tahun ini hendaknya tidak berlalu tanpa arti. Pada guru kita meletakkan nasib anak-anak bangsa dan kepada guru segala perbaikan sedang dimulai. Kita semestinya harus sama-sama memberikan perhatian yang ekstra terhadap profesi guru sehingga tidak terjadi salah kaprah dalam memandang model pembelajaran yang mereka praktikkan. Jika semua orang percaya kepada kebaikan, mereka harus bahwa guru telah dan sedang mengerjakan. Kepadamu guru kami kini berharap!
Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar